Kesadaran manusia secara garis besar terbagi atas tiga dimensi yang amat
penting. Pengalaman, perasaan dan pengetahuan. Ketiga dimensi itu
berbeda secara substantif tetapi sangat saling berkaitan.
Pengetahuan
adalah apa yang diketahui oleh manusia atau hasil pekerjaan manusia
menjadi tahu. Pengetahuan itu merupakan milik atau isi pikiran manusia
yang merupakan hasil dari proses usaha manusia untuk tahu. Dalam
perkembangannya pengetahuan manusia berdiferensiasi menjadi empat cabang
utama, filsasat, ilmu, pengetahuan dan wawasan. Untuk melihat perbedaan
antara empat cabang itu, saya berikan contohnya: Ilmu kalam (filsafat),
Fiqih (ilmu), Sejarah Islam (pengetahuan), praktek Islam di Indonesia
(wawasan). Bahasa, matematika, logika dan statistika merupakan
pengetahuan yang disusun secara sistematis, tetapi keempatnya bukanlah
ilmu. Keempatnya adalah alat ilmu.
Setiap ilmu (sains) adalah
pengetahuan (knowledge), tetapi tidak setiap pengetahuan adalah ilmu.
Ilmu adalah semacam pengetahuan yang telah disusun secara sistematis.
Bagaimana cara menyusun kumpulan pengetahuan agar menjadi ilmu? Jawabnya
pengetahuan itu harus dikandung dulu oleh filsafat , lalu dilahirkan,
dibesarkan dan diasuh oleh matematika, logika, bahasa, statistika dan
metode ilmiah. Maka seseorang yang ingin berilmu perlu memiliki
pengetahuan yang banyak dan memiliki pengetahuan tentang logika,
matematika, statistika dan bahasa. Kemudian pengetahuan yang banyak itu
diolah oleh suatu metode tertentu. Metode itu ialah metode ilmiah.
Pengetahuan tentang metode ilmiah diperlukan juga untuk menyusun
pengetahuan-pengetahuan tersebut untuk menjadi ilmu dan menarik
pengetahuan lain yang dibutuhkan untuk melengkapinya.
Untuk
bepengetahuan seseorang cukup buka mata, buka telinga, pahami realitas,
hafalkan, sampaikan. Adapun untuk berilmu, maka metodenya menjadi lebih
serius. Tidak sekedar buka mata, buka telinga, pahami realitas,
hafalkan, sampaikan, secara serampangan. Seseorang yang ingin berilmu,
pertama kali ia harus membaca langkah terakhir manusia berilmu,
menangkap masalah, membuat hipotesis berdasarkan pembacaan langkah
terakhir manusia berilmu, kemudian mengadakan penelitian lapangan,
membuat pembahasan secara kritis dan akhirnya barulah ia mencapai suatu
ilmu. Ilmu yang ditemukannya sendiri.
Apa maksud “membaca langkah
terakhir manusia berilmu” ? Postulat ilmu mengatakan bahwa ilmu itu
tersusun tidak hanya secara sistematis, tetapi juga terakumulasi
disepanjang sejarah manusia. Tidak ada manusia, bangsa apapun yang
secara tiba-tiba meloncat mengembangkan suatu ilmu tanpa suatu dasar
pengetahuan sebelumnya. Katakanlah bahwa sebelum abad renaisansi di
Eropa, bangsa Eropa berada dalam kegelapan yang terpekat. Karena larut
dalam filsafat skolastik yang mengekang ilmu dan peran gereja. Para
ilmuwan dan para filsafat abda itu tentu memiliki guru-guru yang
melakukan pembacaan terhadap mereka tentang sampai batas terakhir
manusia berilmu di zaman itu. Ilmu kimia abad modern sekarang adalah
berpijak pada ilmu kimia, katakanlah abad 10 masehi yang berada di
tangan orang-orang Islam. Dan ilmu kimia di abad 10 masehi itu tentu
bepijak pula pada ilmu kimia abad 3500 tahun sebelum masehi, katakanlah
itu misalanya dari negri dan zaman firaun.
Jadi seseorang yang ingin
berilmu manajemen, misalnya, maka ia harus mengumpulkan dulu
pengetahuan-pengetahuan mnajemen yang telah disusun sampai hari kemarin
oleh para ahli ilmu tersebut dan merentang terus kebelakang sampai zaman
yang dapat dicapai oleh pengetahuan sejarah.
Cara praktis, cepat,
kompatibel, kredibel, aksesibel, dan lain-lain bel positif lainnya,
untuk berilmu ialah dengan sekolah formal, dari SD hingga S3.
Beruntunglah kawan-kawan yang bisa meraih gelar sarjana. Gelar magister
dan seterusnya. Memang sekalipun gelar sudah s3 tapi koq masih terasa
haus juga terhadap ilmu. Itu karena ilmu yang ada pada dirinya
sebenarnya barus sedikit dari khazanah ilmu yang pernah disusun manusia,
sedang disusun, dan apalagi jika dibanding dengan ilmu di masa depan
sampai haru kiamat nanti.
0 komentar:
Posting Komentar